Bermain bagi anak itu mutlak untuk
mengembangkan daya cipta, imajinasi, perasaan, kemauan, motivasi dalam
suasana riang gembira. Kalau ada anak yang berdiam diri, termenung,
tidak senang, tidak bergerak perlu ditelusuri, diteliti bahkan
dicurigai, sebab kemungkinan ia sakit (baik fisik atau psikis), misalnya
kecewa, tersinggung sehingga ia mogok bermain.
Menurut Slamet Suyanto bermain memiliki
peran penting dalam perkembangan anak.Peranan bermain dalam perkembangan
anak antara lain: Bermain mengembangkan kemampuan motorik, bermain
mengembangkan kemampuan kognitif, bermain mengembangkan kemampuan
afektif, bermain mengembangkan kemampuan bahasa, bermain mengembangkan
kemampuan sosial.
Selama ini wali murid lebih sering
henya mengkhawatirkan kemajuan perkembangan kognitif anaknya. Bisa
dipastikan jarang dan malah mungkin tidak pernah ada pertanyaan begini:
“Bu, sudah hampir setahun anakku sekolah di sini koq belum bisa melempar
bola dari jarak sekian ke arah yang tepat, atau anakku koq belum bisa
membedakan mana ciptaan Tuhan dan manusia, atau anakku koq belum bisa
mengungkapkan pendapatnya dengan bahasa yang santun?” Sungguh ini sebuah
pertanyaan yang sangat dirindukan oleh tutor atau pengasuh di PAUD
(TK/RA, TPA, KB,SPS).
Kehidupan anak mengalami proses tumbuh
kembang yang berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan.
Perkembangan berproses dengan melalui faktor bawaan, kematangan, kondisi
lingkungan dan proses belajar yang berlangsung. Walaupun urutan
perkembangan setiap anak sama, tetapi iramanya berbeda. Oleh karena itu,
bisa terjadi anak dengan umur yang sama tetapi tingkat kematangannya
berbeda.
Tuntutan orang tua seperti di atas
mungkin disebabkan karena ada beberapa SD yang menerapkan tes masuk yang
berupa tes membaca dan menulis. Begitu naïf…Anak TK/RA dan sejenisnya
itu belum bisa (menurut permendiknas) pelajaran membaca, menulis dan
berhitung. Tetapi yang benar adalah mengenalkan huruf-huruf dan angka
supaya ketika masuk ke jenjang SD/MI anak tidak mengalami kesulitan
belajar. Sayangnya banyak guru SD yang suka mematahkan karakter anak
dengan kalimat mematikan: “ Sudah lulus TK/RA koq belum bisa membaca
buku?” Kalau ini berlangsung terus menerus, membudaya maka jangan harap
seluruh anak bisa menjadi manusia seutuhnya. Mereka akan tumbuh dan
besar menjadi “robot,” manusia tanpa jiwa, bergerak bukan atas dasar
hati nurani yang sewaktu-waktu siap menghancurkan peradaban manusia.
Wuih…ngeri.
Dikutip dari www.kompasiana.com (icha_nors)