Dewasa
ini, ada berbagai macam harapan
dan DAMPAK yang dapat di peroleh dari Pendidikan. Ada yang berharap pendidikan
dapat memberikan kebermanfaatan dengan menyelesaikan permasalahan yang ada. Ada
pula yang berharap Pendidikan dapat menuntun seseorang menuju kesuksesan dengan
parameter kesejahteraan dari segi ekonomi. Namun pada prosesnya tidak jarang pendidikan
membuat orang bersemangat untuk berlomba-lomba, bersaing, dalam memenuhi
standar-standar yang ada.
Apakah
anda setuju? Ya, sekilas saya pun setuju. Namun jika melihat fakta yang
terjadi, banyak para pemangku kebijakan saat ini yang katanya orang
berpendidikan, lulusan dari universitas terbaik, menentukan kebijakan-kebijakan
yang tidak tepat dan tidak Pro Rakyat. Bukannya menyelesaikan masalah bangsa,
namun menambah masalah yang ada.
Proses
yang terjadi pun membuat kita berlomba-lomba untuk bersemangat mencapai posisi
yang terbaik dengan standar yang disama ratakan pada setiap anak. Coba saja
tanyakan kepada elemen pendidik yang berada pada tripusat pendidikan (orang
tua, guru, dan masyarakat). Apa yang mereka harapkan dari seorang anak di masa studinya?
Ya, anak yang cerdas akademiknya, berprestasi baik akademik maupun non akademik, dan anak yang
berkarakter. Namun sayangnya karakter dari anak masih belum menjadi prioritas
utama dari paradigma pendidikan yang ada pada tripusat pendidikan saat ini.
Banyak
orang yang telah mencapai kesuksesan dalam mencapai kesejahteraan ekonomi,
namun yang sangat disayangkan kesejahteraan ekonomi ini hanya bersifat pribadi.
Hal ini menyebabkan gap kesenjangan
yang ada makin lebar, disaat seseorang hanya memikirkan kesejahteraan pribadi
tanpa menengok kebelakang ternyata masih ada saudara kita yang butuh uluran
tangan. Coba saja tanyakan kepada para lulusan S1 saat ini, apakah mereka lebih
memilih bekerja pada perusahaan negara, membuka lapangan usaha mandiri, atau
menjadi ajudan perusahaan asing dengan gaji setinggi langit, padahal jika kita
hitung gaji semacam itu tidak sebanding dengan kekayaan alam kita yang di
exploitasi.
Mengutip
pendapat dari Prof Daniel M. Rosyid, guru besar Institut Teknologi Sepuluh
Nopember yang juga sebagai Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur, pendidikan
seharusnya lebih mengedepankan daya sanding, bukan daya saing. Sehingga anak
Bangsa kita nantinya dapat bekerja sama membangun Indonesia dalam sebuah harmonisasi yang indah, karena
sejatinya kita tahu Indonesia adalah bangsa yang diberkahi ragam suku dan
budaya. Serta mengutip pendapat dari Pak Sulistyanto Soejoso, anggota Dewan Pendidikan
Jawa Timur, bahwa setiap anak adalah unik, mereka memiliki bakat dan minat
masing-masing untuk di kembangkan. Maka sudah seharusnya anak tidak di posisikan
sebagai kertas kosong, proses pengembangan dan standar-standar yang di capai
tidak bisa disamaratakan.
Bukan
untuk menentang konsep dan paradigma pendidikan yang ada di Indonesia,
melainkan untuk terus berharap bahwa Pendidikan kita dapat terus berkembang memenuhi kebutuhan Bangsa.
Bukan sekedar meniru maupun menjiplak konsep pendidikan yang ada di negara
lain, melainkan Indonesia sendirilah yang harus menciptakan konsep pendidikan.
Karena sejatinya pendidikan sangat erat hubungannya dengan manusia yang unik
dan dinamis di setiap perasaan, pemikiran, dan perbuatannya.
Jika
berbicara tentang pendidikan di Indonesia, tentunya kita harus merujuk pada
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Beliau tidak sepakat dengan
konsep pendidikan yang diwariskan oleh kolonial belanda dimana orientasi pada
pendidikan hanya mengacu pada segi kognitf (penalaran) tanpa melihat dari segi
yang lain, yaitu pendidikan budi pekerti (karakter) sehingga produk yang di
hasilkan oleh sistem pendidikan tersebut hanya melahirkan manusia pintar dengan
sifat individualis dan moral yang buruk.
Menurut
Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan adalah
tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak - anak. Maksudnya adalah Pendidikan
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Jadi setiap anak memiliki bakat dan
potensi masing-masing.” Dalam kalimat tersebut jelas sudah bahwa setiap
anak memiliki bakat dan potensi yang berbeda-beda. Sehingga kita para elemen
pendidik sudah seharusnya mengembangkan anak sesuai dengan hal itu, tentunya
dengan standar yang berbeda pula. Mengacu pada konsep mulitiple intelegence
dari Profesor Howard Gardner (Harvard University), Beliau mengelompokkan
kecerdasan anak dalam delapan tipe yaitu kecerdasan visual, verbal, logical/
matematis, kinestetik, musik, interpersonal, intrapersonal, dan natural.
Kedelapan tipe kecerdasan ini pun jika dikembangkan sesuai dengan minat anak
akan sangat berdampak kepada perkembangan Indonesia. Contoh saja Bapak Iwan
Fals yang dengan alunan musiknya dapat membangun semangat nasionalisme
bangsa, Bapak Mario Teguh dengan
kata-kata mutiaranya dapat menginspirasi banyak orang, Bapak Dahlan Iskan
dengan perhitungan matangnya ikut membantu perkembangan manufaktur di
Indonesia, juga Evan Dimas dengan kepiawaiannya memainkan bola bundar ikut
serta meningkatkan kebanggaan Bangsa Indonesia.
Hal
yang paling utama dalam proses pembelajaran adalah kegairahan belajar, sehingga
dengan melakukan apa yang anak sukai, sesuai dengan bakatnya, dampak yang
timbul akan lebih terasa. Seperti pendapat dari Bapak Pendidikan kita dimana
tujuan dari pendidikan adalah agar manusia sebagai anggota masyarakat dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan setingg-tingginya. Dalam mendapatkan
kebahagiaan pun anak membutuhkan apresiasi dalam perjalanan pembelajarannya
menjadi orang yang bermanfaat, bukan apresiasi berupa materi melainkan
apresiasi yang datang dari dalam hati. Apresiasi ini menjadi kebahagiaan yang
datang dari eksternal anak, disamping kebahagiaan yang datang dari internal
anak berupa kesenangan dalam belajar sesuai dengan bakat dan minatnya.
Seirama
dengan tujuan dari Pendidikan Nasional pada UU No.20 Tahun 2003, “Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.” Sehingga sudah seharusnya paradigma pendidikan pun mengacu pada
diri anak itu sendiri dan juga dikembangkan sebagai modal kesuksesan di masa
yang akan datang. Pendidikan budi pekerti pun tidak boleh dilupakan pada proses
pendidikan yang terjadi. Agar setiap orang merasa bangga dan bersama-sama
membangun Indonesia dengan bakat dan potensinya masing-masing.(Muhammad Ishar, Director IECC)