keadaan kelas di SD Gebang II |
Mungkin
ketika anda membaca artikel ini akan merasa seperti di pulau-pulau luar Jawa
yang tidak pernah dijamah manusia, silahkan anda kembali dan segera menapak di
bumi. Karena ini adalah wilayah Sidoarjo yang selama ini penuh sesak dengan
hingar-bingar perkotaan.
Dalam
rangka mencari daerah sasaran untuk IECC for Indonesia, hari ini (24/3) squad
BSO IECC melakukan survey pertama yaitu
di kabupaten Sidoarjo, tepatnya di Jalan Pucu’an desa Gebang kecamatan
Sidoarjo. Untuk menuju wilayah tersebut terdapat dua pilihan akses, yaitu
melalui jalur darat dan perairan.
Pilihan
pertama jatuh pada jalur darat. Menggunakan sepeda motor ternyata tidak cukup
mudah untuk akses ke desa Gebang, jalanan yang sempit (kanan-kiri rawa) dan
jalan becek sisa hujan, sedikit membuat kami kewalahan, dengan berbagai
pertimbangan terutama keselamatan akhirnya kami memutuskan untuk tidak
melanjutkan perjalanan melalui jalur darat.
Medan
tak mengurungkan tekad kami untuk meneruskan perjalanan. Setelah melihat medan
yang tidak bisa ditembus melalui jalur darat, jalur perairan pun menjadi
harapan kami selanjutnya. Berbekal uang 300
ribu rupiah, kami menyewa perahu demi mencapai Pucu’an yang sekitar 1,5
jam perjalanan menggunakan perahu. Air di hilir sungai yang sedikit coklat dan
sisa-sisa sampah dari hulu menemani perjalanan kami, kanan-kiri tanaman bakau
dan burung-burung di tepian sungai menjadi pemandangan yang sangat sulit
dijumpai di daerah perkotaan besar.
Dalam
perjalanan (ingat: naik perahu) kami singgah di Dusun Ketingan, desa Sawoan.
Sekitar 300 KK menempati wilayah ini, perkampungan kecil yang cukup rapi, namun
tak serapi dengan keadaan pendidikan disana. Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Pertama menjadi satu atap.
Transportasi para guru menjadi kendala besar disana hingga belajar megajar pun
harus dimulai pukul 8.00 WIB dan diakhiri pukul 11.00 WIB. Kedaan gedung
sekolah yang sudah mendapat renovasi dari pemerintah menjadi cercah cahaya
tersendiri untuk masyarakat disana, meski untuk masalah penunjang belajar masih
kurang. Tanah yang memiliki salinitas tinggi sehingga sulit untuk dibuat
berkebun membuat mayoritas masyarakat disana bermata pencaharian sebagai
nelayan dan bekerja di tambak.
Jalan
Pucu’an, desa gebang, akhirnya kami bisa menapakkan kaki disana. Cukup miris
melihat pemandangan disana, gedung Sekolah Dasar yang terbuat dari papan kayu
mengingatkan kami pada film yang pernah fenomenal “Laskar Pelangi”. Lantai yang
juga terbuat dari papan kayu, sebelah kanan gedung langsung disambut dengan
luasnya tambak, dan lapangan upacara yang tanahnya kering keronta (entah pernah
dipakai upacara atau tidak). Jumlah pengajar sebanyak tiga orang dan seorang
kepala sekolah, mereka semua adalah pendatang yang selalu menaiki perahu untuk
bertemu dan berbagi ilmu dengan ± 20 siswa disana. Tengok kanan-kiri sepi,
sampai akhirnya salah satu penduduk menghampiri kami. Banyak cerita yang beliau
sampaikan. Listrik yang belum menjangkau daerah ini, Generator set yang
menerangi malam disana, sekolah SMP yang harus ke dusun ketingan dengan
menggunakan perahu, dan tentang relawan yang datang hampir setiap minggu ke
daerah ini untuk memberikan hiburan. Tidak jauh berbeda dengan wilayah singgah
sebelumnya, masyarakat daerah sini juga bermata pencarian sebagai nelayan dan
bekerja di tambak.